Sabtu, 06 Oktober 2007

MOTOR GEDE ( Sorot )

JUMAT pagi itu, saya sedang berada di dalam ken-daraan umum elf dari Kota Tasikmalaya menuju Bandung. Keadaan lalu lintas di jalan Nagreg sangat padat, malahan cenderung macet. Mobil-mobil merayap, sepeda motor menyelusup mencari-cari celah untuk bisa jalan.

Beberapa anak-anak tanggung berlarian sepanjang jalan sambil membawa balok kayu untuk membantu mengganjal mobil, yang mungkin mogok di jalan saat mendaki atau menurun. Seorang lelaki tua yang duduk di samping saya dalam kendaraan umum itu terlihat bersungut-sungut, karena tidak biasanya sepagi jalan Nagreg terjadi kemacetan.
Ia kemudian menyadari, kemacetan terjadi karena saat itu adalah minggu akhir yang panjang (long weekend), sebab hari Jumat waktu itu adalah hari libur. Di tengah suasana yang sibuk, centang perenang dan panas itu, tiba-tiba dari arah depan mobil terdengar suara sirene meraung-raung.
Puluhan lampu sepeda motor menyala tampak dari kaca mobil yang saya tumpangi. Semua kendaraan yang waktu itu sedang merayap dipaksa minggir atau menghentikan kendaraanya oleh polisi lalu lintas (voorijder), yang membuka jalan untuk rombongan pengendara sepeda motor.
Semuanya harus memberi jalan pada rombongan yang terdiri dari puluhan pengendara berbagai macam motor besar (atau “moge”, motor gede), yang beberapa hari kemudian, saya ketahui bahwa mereka sedang menuju ke Pangandaran untuk berekreasi, merayakan hari ulang tahun kelahiran klub motor besar dan mencari hiburan.
Lelaki tua di samping saya yang sejak tadi bersungut-sungut karena kemacetan lalu lintas, terlihat bertambah emosi menyaksikan dan mengalami keadaan ini. “Luar biasa brengseknya keadaan ini. Mobil angkutan rakyat yang padat dipenuhi kita rakyat kecil, diperintahkan oleh polisi untuk minggir, atau berhenti dan harus memberi jalan kepada orang-orang kota yang pasti kaya-raya, karena motor besar berharga ratusan juta rupiah yang sedang dikendarainya itu akan lewat,” katanya bersungut-sungut.
Kita, kata lelaki tua itu, para pedagang kecil yang harus dengan cepat mengirimkan barang dagangan ke pasar di kota, kini harus memperlambat perjalanan karena harus memberi jalan pada orang-orang kaya yang akan mencari hiburan serta bersenang-senang di pedesaan.
“Ya, mereka itu egois. Saya jadi khawatir kalau-kalau kemacetan akan berlangsung lama, sehingga dagangan saya terlambat sampai di Pasar Caringin dan saya akan merugi,” kata seorang teman duduknya, seorang pedagang di Pasar Induk Caringin Bandung.
**
KELUHAN yang sama juga dilontarkan penumpang lain. Mereka semua protes dan kemudian berbicara satu sama lain. Ada juga yang mempertanyakan, kenapa pihak yang berwajib (polisi lalu lintas) agaknya menganakemaskan para pengendara motor gede yang kayaraya itu, mengawal mereka dalam perjalanan dan malahan memberi fasilitas pada mereka. ” Oh, itu mungkin karena mereka membayar polisi itu,” ujar seorang anak muda bertampang mahasiswa.
“Bukan karena uang saja, tapi juga karena pemilik motor-gede itu ada juga yang pimpinan polisi, pejabat pemerintah, pengusaha besar. Oleh karena itu, ke mana pun mereka pergi, pasti selalu dikawal petugas,” kata seorang anak muda yang lain.
Saya diam saja mendengar percakapan tentang “moge” yang makin menghangat di dalam kendaraan angkutan umum milik rakyat itu. Diam-diam saya juga sangat menikmati percakapan mereka. Sebab apa yang dipercakapkan mereka dan kritikan-kritikan yang dilontarkan mereka banyak sekali mengandung kebenaran. (Ahmad Yusuf/PR)

Tidak ada komentar: